PENTINGNYA PEMAHAMAN PERBEDAAN INDIVIDU ANAK DALAM PROSES PEMBELAJARAN

Blog Single

Oleh: Marfu’atul Mahiroh (Mahasiswa Tadris Matematika A’20)

 

Tugas guru dan orang tua bukanlah menanamkan benih pada ladang jiwa anak, melainkan untuk menumbuh suburkannya.”

Dari prinsip yang digunakan postulate pendidikan anak usia dini tersebut, kita tahu bahwa dalam diri anak sudah ada benih-benih yang ditanam Tuhan. Kemudian bagaimana cara kita bisa mengetahui benih yang terpendam dalam kedalaman tanah ketidaktahuan kita. Memupuknya dengan semangat, merawatnya dengan panuh kasing sayang, menyiraminya dengan aliran  pengetahuan, sehingga tumbu besar, subur, menghasilkan buah manis dan menyegarkan.

Setiap anak adalah individu yang berbeda-beda. Individu dalam tafsiran Lysen, merupakan keseluruhan yang utuh tanpa bisa dibagi. Perbedaan individu setiap anak sudah ada sejak pertama mereka dilahirkan. Merupakan suatu anugerah, memiliki potensi yang berbeda dari individu yang lain. Individu yang identik tidak ada di muka bumi ini. Yang ada hanya mirip, tidak sama persis.

Dalam proses pembelajaran pun demikian. Namun, banyak orang tua dan guru tak memahaminya dan mengartikan pembelajaran memang bukan sekadar menghabiskan waktu atau menumpuk buku-buku, tetapi menyampaikan ilmu, diterima dan dipraktikkan oleh anak-anak, kemudian hasilnya adalah menjadi anak yang pintar, dengan nilai tertinggi, bahkan bisa sampai sekolah ke luar negeri, agar kelak sukses bekerja di kantor bergedung tinggi-tinggi. Jika tidak sesuai keinginan, mengeluhkan anaknya yang lebih pintar dari temannya, sehingga timbullah membanding-bandingkan kemampuan anak.

Anda sebagai pendidik telah melupakan nasehat Henry Manampiring: “Kalau ingin menjadi parents (seorang pendidik) yang sehat, perlu diingat selalu bahwa tidak ada yang sempurna. Dan kita benar-benar memikirkan, nilai-nilai apa yang ingin anak kita miliki.” Jangan suka menyebut diri sendiri sebagai pendidik, jangan banyak menuntut kepada anak-anak dalam proses pembelajaran. Tidak penting itu semua, karena yang pokok adalah bagaimana kita sebagai pendidik bisa mendidik anak-anak kita sesuai dengan kemampuan mereka.

Dogen mengatakan bahwa kita harus belajar tidak hanya sebagai ibu saat kita melahirkan, tetapi juga karena kita menjadi anak lagi. Bukan berarti kita sudah mendai ibu, kita punya hak kuasa penuh untuk memaksakan anak sesuai dengan keinginan kita. Dengan mengenal kemampuan anak dan kergamannya, akan lebih mudah bagi pendidik untuk menerima, menyayangi, dan menumbuh kembangkan yang ada pada diri anak. Sebagaimana Anda tidak bisa mengajari ikan terbang, begitulah perumpamaan mendidik tanpa mengenal potensi.

Perbedaan-perbedaan individu anak tersebut secara garis besar bisa diklasifikasikan ke dalam beberapa hal berikut ini:

1)      Perbedaan Sosio Culturnya

Latar belakang keluarga anak berbeda-beda. Anak dengan latar belakang diasuh oleh orang tua dengan “bijak” pasti berbeda dengan anak yang mendapat pola asuh “dipaksa”, pun berbeda dengan anak yang bahkan mungkin “tidak mendapatkan” pola asuh dari orang tuanya.

Mengetahui perbedaan tersebut bukan untuk membeda-bedakan anak, tetapi dengan amksud untuk lebih bijaksana dalam mendidik mereka.

2)      Perbedaan Intelejensinya

Jean Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif bukan hanya merupakan hasil kematangan organisme, bukan pula pengaruh lingkungan semata, melainkan hasil interaksi antar-keduanya. Tidak hanya berbeda tingkat kecerdasannya, tetapi juga tentang jenis kecerdasannya. Ketika anak tidak menguasai  matematika, bukan berarti  ia bodoh dan tidak bisa apa-apa. Bisa jadi mereka mempunyai kecerdasan-kecerdasan lainnya, di bidang seni misalnya.

3)      Perbedaan Kesiapan Belajar

Filosofi teras mengajarkan kepada kita untuk menjadi “pengguna” bukan “budak.” Jadi, kita dan anak harus sama-sama menyiapkan diri, kemudian siap menggunakan anugerah yang telah diberikan Tuhan dengan semaksimal dan sebaik mungkin untuk belajar.

 

Ada kebiasaan yang semestinya dilakukan pendidik dalam proses pembelajaran anak:

1)      Menyadari bahwa setiap anak didorong oleh apa yang mereka percayai, dan bahwa mereka bangga dengan apa yang mereka lakukan. Maka jadilah pendidik yang teladan, yang dipercayai dan dibanggakan dengan didikan yang kita berikan.

2)      Memahami jika yang dilakukan anak benar, maka tidak ada alasan untuk kita (orang tua dan guru) mengeluh.

3)      Menyadari bahwa kita tidak berbeda dari anak-anak kita. Kita juga pernah melakukan banyak kesalahan. Sebagaimana yang pernah memposisikan sebagai anak, tentu seharunya memahami demikian.

4)      Memahami, sesugguhnya didikan berupa kebaikan sangatlah kuat asalkan dilakukan dengan tulus dan bukan pencitraan.

5)      Cobalah mendidik menggunakan nalar. Anak biasakan melakukan pilihan berdasarkan pertimbangannya sendiri, tentu dalam kapasitas yang sesuai dengan tahap perkembangannya. Ketika anak bisa menggunakan nalarnya berarti konsekuensinya kita harus mampu memperdayakan mereka untuk belajar berpikir, mengumpulkan informasi/data, dan menarik kesimpulan sendiri. Anak yang sering bertanya jika kita bentak artinya mematahkan nalar kritis mereka dan tentunya tidak memebrikan motivasi untuk berpikir sendiri.

Mari kita fahami perbedaan individu anak dan didik mereka dengan bijak. Daripada membandingkan dengan anak yang lain, membentuk anak sesuai dengan keinginan pendidik secara sepihak, akan jauh lebih baik jika kita fokus men-support kemampuan mereka. Karena setiap anak adalah bintang.

 

Begitu banyak bintang di angkasa, warna satu sama lain tentu berbeda. Namun, dengan perebdaan masing-masing jika dipancarkan, terbutki bisa kita nikmati keindahannya.

Share this Post1: